tom ford’s tobacco vanille

anna ☆
2 min readAug 3, 2023

--

Bisa-bisanya Abia telat di hari pertamanya kerja. Ia berlari sepanjang perjalanan menuju halter bis. Udara dingin memukul wajahnya dan menusuk-nusuk paru-paru. Di bawah kakinya timbul suara gersik daun kering yang ditabur oleh pohon di mana-mana.

Sesampainya di sekolah Jemi, ia segera menanyakan satpam di mana letak kelas anak itu. Abia berhenti sejenak untuk mengagumi lorong yang penuh dengan karya murid sebelum akhirnya sampai di ruangan tujuan.

Lewat jendela terbuka, ia bisa melihat Jemi yang sedang terduduk manis sambil membaca buku. Lesung pipinya di bagian kiri terlihat setiap kali anak itu tersenyum atau menertawai sesuatu dari bukunya. Lantas Abia merasa bersalah karena sudah membuat anak selucu Jemi menunggu lama.

Abia mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu. Jemi tersentak dari kegiatan membacanya dan netra mereka ketemu. Ella benar, bentuk matanya mirip mata kucing, semburat merah mawar menghiasi pipinya, dan rambutnya keriting. Jemi terlihat tenggelam dalam balutan jaket parka.

Sebelum Abia bisa memasuki ruangkan kelas, pergelangan tangannya dicekal.

Excuse me, ma’am.

Suaranya familier.

Abia pernah mendengar suara itu. Ia memutar badan dan menatap langsung pria yang menghentikannya. Rambut hitam legamnya disisir ke belakang dan mata yang menatap Abia balik sekilas melebar. Hidung Abia menangkap kombinasi aroma yang sangat ia suka—kue dan rokok—lantas ia sadar.

Shit. One night stand gue dari dua hari kemarin.

Dengan gugup, ia berkata, “I’m here… to pick up Jeremiah?” Seharusnya menjadi pernyataan, tetapi keluar seperti pertanyaan dari mulutnya.

Si Pria melepaskan genggamannya di pergelangan tangan Biya. Tatapannya bingung dan mulutnya mengerut sedikit.

I’ll confirm this with his mom. Wait here.” Pria itu mengeluarkan sebuah ponsel dari kantong dan menelusuri daftar kontaknya untuk mencari nama Ibu Jemi. Abia agak tersinggung karena mana ada penculik secantik dirinya?

Sembari menunggu, Abia memperhatikan punggung pria itu yang sekarang membelakanginya. Setelah panggilannya berakhir, pria itu menghampiri Jemi dan berkata, “Okay, Jemi. Your carer is here to pick you up.

Suaranya riang, berbanding terbalik pada malam itu yang terdengar serius dan berat.

‘Is it okay if I touch you here?’

‘Do you like it if I do this?’

Diam diam diam. Otaknya harus diam. Brain freeze yang menyerangnya sepanjang berlari di tapakan jalan Edinburgh pada musim gugur langsung hilang digantikan rasa panas yang bermekar dari dada, ke pipi, dan sampai ke ujung telinganya.

Pria itu menghampirinya sambil menggandeng Jemi.

Are you Biya?” tanya Jemi.

Yes, your mom sent me here to pick you up.” Abia menawarkan salah satu tangannya untuk digandeng Jemi. Dengan ragu-ragu, Jemi mengambilnya, sambil melirik-lirik gurunya yang tidak berhenti memberikan senyum meyakinkan.

Gue yang meleleh anjir, pikir Abia.

Sebelum Abia pergi, ia dihentikan lagi. “Hey, can I have your number?”

Abia sudah percaya diri. Baru mau tolak bilang ‘I’m not interested in a relationship’, tetapi semua kata di lidahnya mati saat pria itu lanjut berkata, “Just in case of an emergency. So I could reach you directly.

Dasar kepedean.

--

--

anna ☆
anna ☆

No responses yet